Collateral Damage Premanisme: UMKM sebagai Korban Tak Terlihat dalam Kasus Pengeroyokan Debt Collector di Kalibata

Oleh Dedi Supriadi – Ketua Dewan Pengurus Pusat Studi Kota dan Dunia (PSKD)

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi Budi Hermanto sebagaimana dilansir Antaranews, saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (13/12) menyampaikan bahwa kerugian atas pembakaran dan pengrusakan lapak dan toko UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) serta kendaraan bermotor pada kejadian pasca pengeroyokan erhadap debt collector (penaguh utang atau dengan julukan mata elang) senilai kurang lebih Rp 1,2 Milyar.

Jelas terlihat, kasus pengeroyokan terhadap debt collector di kawasan Kalibata tidak hanya menyisakan persoalan hukum antarindividu atau kelompok. Di balik sorotan publik terhadap aksi kekerasan tersebut, terdapat korban lain yang kerap luput dari perhatian, yakni para pedagang kecil dan pelaku UMKM yang lapaknya rusak, dagangannya hancur, dan aktivitas ekonominya terhenti. Inilah yang dapat disebut sebagai collateral damage—kerusakan sosial dan ekonomi yang menimpa pihak-pihak yang sama sekali tidak terlibat dalam konflik.

Dalam peristiwa tersebut, ruang publik berubah menjadi arena kekerasan. Amarah, pengeroyokan, dan kejar-kejaran tidak hanya mengancam nyawa, tetapi juga menghancurkan sarana penghidupan masyarakat kecil. Lapak rusak bukan sekadar benda mati; ia adalah simbol nafkah harian, cicilan hidup, dan keberlangsungan keluarga. Ketika lapak hancur, yang runtuh bukan hanya papan dan tenda, tetapi juga rasa aman warga dalam mencari rejeki.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Pertanggungjawaban atas collateral damage ini tidak bisa dilihat secara sempit, melainkan harus ditempatkan dalam kerangka tanggung jawab berlapis.

Pertama, pelaku langsung kekerasan menjadi pihak yang bertanggung jawab secara pidana dan perdata atas pengrusakan dan kerugian yang ditimbulkan. Tidak ada justifikasi apa pun bagi aksi main hakim sendiri di ruang publik. Dalam kasus ini, pelaku pengrusakan bukanlah pelaku pengeroyokan, hal inilah yang akan menjadi ranah aparat untuk menentukan kelompok yang paling bertanggungjawab secara individual.

Kedua, pihak perusahaan penaung debt collector dan perusahaan pembiayaan juga patut dimintai pertanggungjawaban moral dan hukum jika praktik penagihan yang dilakukan—baik oleh karyawan maupun mitra pihak ketiga—memicu konflik terbuka dan keresahan publik. Penyerahan penagihan kepada aktor informal tanpa kontrol ketat sama artinya dengan membuka ruang kekerasan yang berpotensi merugikan pihak ketiga.

Ketiga, negara dalam hal ini aparat penegak hukum memikul tanggung jawab institusional. Ketika ruang publik menjadi arena kekerasan berulang, itu menandakan lemahnya pencegahan, pengawasan, dan kehadiran negara dalam menjamin keamanan warga—termasuk perlindungan bagi UMKM.

Mengapa UMKM Selalu Jadi Korban?

UMKM sering berada di posisi paling rentan: tidak memiliki asuransi, minim perlindungan hukum, dan jarang mendapat ganti rugi yang layak. Dalam banyak kasus, mereka diminta “memaklumi situasi” atau menanggung kerugian sendiri, padahal mereka adalah korban murni. Jika kondisi ini dibiarkan, maka negara secara tidak langsung membiarkan ketidakadilan struktural terus berlangsung.

Padahal UMKM adalah sektor yang membuat sebuah kota menjadi hidup dan perekonomian bergerak. Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi dengan belanja produk UMKM terbesar secara nasional pada tahun 2024, mencapai Rp13,71 triliun. Pemprov DKI Jakarta juga dikenal sangat mendukung mendukung perputaran ekonomi UMKM. Seperti dikutip dari Antaranews, hingga pertengahan tahun 2024 saja hampir 400 ribu pelaku UMKM telah tergabung dalam Jakpreneur, yang menunjukkan ekosistem UMKM lokal telah hidup.

Upaya Mencegah Kejadian Serupa Terulang

Penegakan hukum yang tegas dan konsisten menjadi kunci utama dalam menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan premanisme. Tidak boleh ada toleransi terhadap intimidasi di ruang publik, siapa pun pelakunya dan apa pun latar belakang profesinya. Pelaku UMKM merupakan kelompok yang sangat rentan, kerap menjadi sasaran pemerasan, pungutan liar, hingga kekerasan fisik yang mengancam keberlangsungan usaha mereka.

Di saat yang sama, penertiban dan standarisasi profesi debt collector harus dilakukan secara ketat. Proses penagihan utang semestinya sepenuhnya berbasis hukum, administrasi, dan mekanisme perdata, bukan melalui kekuatan fisik atau tekanan psikologis. Fenomena “mata elang” yang mengeksekusi kendaraan di jalan raya, yang hampir setiap hari beredar di media sosial dan media massa, bukan hanya membahayakan keselamatan publik, tetapi juga berpotensi menormalisasi kekerasan sebagai sesuatu yang seolah lumrah.

Negara juga tidak boleh abai terhadap nasib korban, khususnya pihak ketiga seperti pelaku UMKM. Pemerintah daerah perlu mendorong adanya mekanisme kompensasi, baik melalui skema bantuan darurat maupun kewajiban ganti rugi lewat jalur hukum perdata, agar korban tidak dibiarkan menanggung kerugian sendirian. Hal ini mendesak, mengingat keterbatasan modal yang dimiliki pelaku UMKM untuk memulai kembali usaha mereka yang hancur akibat pengrusakan.

Lebih jauh, peran pemerintah daerah dan aparat kewilayahan perlu diperkuat dalam menjaga ruang publik sebagai ruang aman bagi aktivitas ekonomi rakyat kecil. Konflik utang-piutang tidak boleh dibiarkan tumpah menjadi kekerasan yang merusak sendi ekonomi lokal. Apalagi, sebagaimana diberitakan, lokasi pengeroyokan dan pengrusakan terjadi tidak jauh dari kantor kepolisian. Fakta ini patut menjadi bahan evaluasi serius bagi aparat untuk meningkatkan kewaspadaan dan respons terhadap potensi kekerasan di wilayah kerjanya.

Kasus Kalibata mengingatkan kita bahwa premanisme—baik yang berdiri di luar sistem maupun yang bersembunyi di balik profesi—selalu meninggalkan korban tak bersuara. Jika UMKM terus menjadi collateral damage tanpa perlindungan dan pemulihan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya keadilan hukum, tetapi juga kepercayaan rakyat kecil terhadap negara. Negara hukum yang beradab adalah negara yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan korban dan mencegah kekerasan agar tidak menjadi pola berulang.

 

 

Exit mobile version