Gelar Uji Publik, DPRD Jawa Tengah Atasi Kemiskinan Jawa Tengah Lewat Raperda

Tajuk.co, Salatiga – Komisi E DPRD Jawa Tengah menggelar Uji Publik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah di Hotel Grand Wahid, Jum’at (24/10). Raperda ini merupakan bentuk upaya bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan di Jawa Tengah dan mampu menjadi acuan bagi Kabupaten dan Kota yang ada di Jawa Tengah dalam mengatasi masalah kemiskinan.

Kegiatan ini dihadiri oleh beragam pihak, mulai dari Kepada Dinas Sosial, Anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah, BAPEDA, hingga perangkat daerah seluruh Kabupaten dan Kota.

Dalam sambutannya, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Tengah Yudi Indras Wiendarto menyampaikan keprihatinannya terhadap penurunan kemiskinan di Jawa Tengah yang dirasa stuck dan melambat. Harapannya dengan diadakannya Uji Publik ini bersama dengan seluruh tamu undangan bisa memberikan saran dan masukan dalam mengulas raperda ini.

“Ketika kami berkunjung ke kabupaten/kota, kami menemukan sesuatu yang menarik, di mana anggaran dengan fokus kemiskinan itu tidak sampai 3 miliar. Artinya, tidak banyak yang fokus pada penanggulangan kemiskinan ini, sehingga kami segera mencetuskan Raperda ini” ujar Yudi dalam sambutannya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang periode 2020–2025 tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tercatat sebesar 9,48 persen atau sekitar 3,3 juta jiwa. Adapun daerah dengan angka kemiskinan tertinggi masih didominasi oleh Kabupaten Kebumen dan Brebes, yang saling bergantian menempati posisi teratas dalam beberapa tahun terakhir.

Johan Hardianto, Kepala Bidang Pemerintahan dan Sosial Budaya Bappeda Jawa Tengah yang hadir sebagai pemberi masukan, mengakui bahwa gambaran kemiskinan di Jateng periode 2020-2025 lebih baik dibandingkan Jawa Timur, namun angka tersebut belum sesuai target.

Komisi E DPRD Jawa Tengah pada awalnya menargetkan penanggulangan kemiskinan di provinsi ini dapat ditekan hingga mencapai angka 0 persen pada tahun ini, namun target tersebut diperpanjang.

“Kami menargetkan tahun ini mencapai angka 0% namun diperpanjang oleh presiden prabowo hingga 2026 dengan target 0%” ungkap Johan.

Raperda ini diharapkan menjadi dasar hukum yang lebih komprehensif dalam penanganan kemiskinan. Salah satu poin pentingnya adalah penerapan sistem graduasi, yakni mekanisme agar masyarakat penerima bantuan sosial (bansos) tidak bergantung selamanya pada bantuan tersebut. Johan menambahkan melalui sistem ini, warga miskin yang sudah berdaya akan didorong untuk keluar dari daftar penerima bansos, dengan dukungan berbagai program pemberdayaan ekonomi.

“Harapannya, masyarakat yang sebelumnya menerima bantuan bisa mandiri melalui program pemberdayaan. Sistem graduasi ini akan membantu agar bansos lebih tepat sasaran dan berkelanjutan,” ujar Johan.

Dalam uji publik tersebut, sejumlah peserta memberikan masukan terkait persoalan pendataan warga miskin. Banyak yang menilai bahwa akurasi data masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Dinas Sosial. Pendataan yang tidak tepat dapat menyebabkan ketidaktepatan sasaran, kelebihan pemberian bantuan, hingga pemborosan anggaran.

Selain itu, peserta juga menyoroti pentingnya kejelasan leading sektor atau instansi penanggung jawab utama dalam pelaksanaan penanggulangan kemiskinan. Kemudian menyoroti tentang apresiasi yang besar berupa bantuan pemberdayaan kepada penerima bansos yang menyatakan graduasi secara mandiri. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Sinung Noegroho selaku Dinas Sosial Kabupaten Klaten.

“Kalaupun bisa ada bantuan berupa pemberdayaan kami harapkan bisa dimaksimalkan di optimalkan untuk teman teman yang kemudian dari penerima bansos yang berinisiasi graduasi mandiri, kalaupun kemudian dari APBD penganggaran yang lain saya ingin difokuskan kepada pemberdayaan mereka agar tidak jatuh lagi kepada kemiskinan” ujar Sinung

Exit mobile version