Tajuk.co, JAKARTA — Pemilihan kepala daerah (pilkada) masih lama, tapi ada oknum yang ingin memanfaarkannya untuk merebut pengaruh atau keuntungan. Itulah pendukung politik dinasti dan para investor politik.
Simpulan itu mencuat saat diskusi publik yang diselenggarakan Center for Indonesian Reform (CIR) pada Sabtu (1/7/2023). Dalam diskusi hadir narasumber: Umar Sholahudin (sosiolog dari Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya), Mohammad Hidayaturrahman (Direktur CIR), dan Nuim Hidayat (Pengurus MUI Kota Depok).
Umar memaparkan politik dinasti bukan sekedar fenomena, namun sudah menjadi endemi. “Gejala yang menular terlihat fakta di lapangan bahwa pergantian kekuasan dalam pilkada beralih dari satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lainnya. Bukan hanya pergantian pimpinan eksekutif, melainkan juga lembaga legislatif masih terikat keluarga,” ujar Umar, doktor sosiologi hukum alumni Universitas Airlangga.
Data peserta pilkada tahun 2020, sekitar 124 kandidat terlibat dinasti politik: 22 kandidat adalah pemain lama, dan 102 kandidat adalah istri, anak, keponakan dari petahana. Dinasti politik naik dibanding pilkada tahun sebelumnya: periode 2005-2014 terdapat 59 orang. Sedangkan pilkada serantak 2015-2018 naik menjadi 86 orang.
Tercatat lima propinsi di Indonesia yang kandidatnya berbau dinasti keluarga, yaitu; Jawa Tengah (dari 41 paslon, 15 orang bagian dari keluarga), Jawa Timur (42 paslon, 13 orang anggota keluarga), Sumatra Utara (65 paslon, 8 anggota keluarga), Sulawesi Utara (24 paslon, 10 anggota keluarga), dan Sulawasi Selatan (33 paslon, 10 keluarga).
Virus politik dinasti dalam pandangan hukum memang sah dan tidak ada pelanggaran, namun menjadikan kekuasaan hanya dimiliki segelintir elit sehingga masyarakat hanya menjadi penonton, Umar berpandangan, di masa depan perlu usaha keras agar masyarakat melek politik dan memilih pemimpin atau anggota legislatif bukan berdasarkan faktor keturunan/kekerabatan. Tetapi berdasarkan rekam jejak dan kapasitas yang dimiliki calon dalam membina masyarakat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 tentang pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah membatalkan ketentuan yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah inkumben. Alasannya, pasal seperti itu melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Putusan MK bisa jad dianggap angin segar bagi pelembagaan politik dinasti. Pandangan itu sangat mengancam demokrasi.
Politik dinasti tidak bisa berdiri sendiri, membutuhkan investor politik untuk mendukungnya. Pakar politik Mohammad Hidayaturrahman melakukan riset lapangan tentang investor politik di beberapa daerah. “Investor politik adalah bagian dari proses ekonomi-politik yang keberadaannya berdasarkan teori pertukaran atau pilihan rasional dalam ekonomi. Seorang investor memberikan dukungan dana kepada calon kepala daerah dengan imbal balik (konsesi) kebijakan, program dan janji lain yang memberi keuntungan,” ungkap Hidayat.
Investor politik tidak dapat dihindarkan karena biaya pemenangan politik di Indonesia tergolong sangat tinggi, sehingga setiap orang yang akan maju menjadi calon kepala daerah/presiden tanpa modal finansial akan sulit bertarung. Bahkan, untuk mendapat tiket pencalonan saja butuh dana besar. Kesadaran masyarakat harus ditingkatkan, khususnya lembaga pengawas/Bawaslu pada aspek sumber dan penggunan dana politik.
“Dampak buruk dari investor politik adalah adanya shadow government (pemerintahan bayangan) yang dapat mengatur dan menentukan kebijakan sesuai dengan kepentingan para investor politik yang dapat membawa keuntungan ekonomi kepada kelompok tertentu,” Hidayat menegaskan.
Tokoh masyarakat Nuim Hidayat memiliki perhatian terkait politik dinasti, dengan munculnya nama anak presiden (Kaesang Pangarep) yang dideklarasikan oleh PSI sebagai bakal calon Walikota Depok.
Menurut Nuim, fenomena itu adalah praktik ketidakwajaran mengingat sebelum Kaesang, sudah tampil kakaknya (Ghibran Rakabuming sebagai Walikota Solo) dan kakak ipar (Bobby Nasution sebagai Walikota Medan). Mereka berdua menjadi pemimpin daerah saat ayahnya masih menjabat Presiden. Memang ada yang memandang itu wajar karena dilakukan sesuai prosedur demokrasi. Tetapi, substansi demokrasi telah terciderai.
“Politik dinasti tidak hanya mengancam kualitas demokrasi, tetapi juga kualitas pemimpin yang akan tampil tidak teruji, hanya karena dekat dengan kekuasaan. Mereka yang tidak memahami persoalan masyarakat di kota seperti Depok, karakter budaya dan potensi sosial-ekonomi, bagaimana bisa memberi solusi?,” Nuim bertanya serius. Yang terjadi adalah konten lucu-lucuan untuk mendongkrak popularitas.
Untuk itu, Nuim dan semua pembicara mendorong agar partai-partai politik menampilkan kadernya yang sudah teruji dalam memimpin daerah. Jangan diam saja, sehingga politik dinasti dan investor politik menjadi penumpang gelap dalam momen pilkada. Nuim mengingatkan peristiwa pilkada di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2017 yang menampilkan Anies Rasyid Baswedan sebagai Gubernur mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), meskipun Ahok didukung partai besar dan pemodal besar.
Selain itu, penting sekali pergerakan yang menyadarkan masyarakat terhadap bahaya politik uang sebagai gejala penyuapan politik berskala retail. Dalam skala grosir, menurut Hidayat, ada investor politik menimbulkan dampak buruk lebih besar kepada kualitas pemerintah daerah. Kabar baiknya, menurut survey terkini hanya 30 persen pemilih yang menentukan pilihan berdasarkan pemberian sejumlah uang/barang. Mayoritas pemilih yang sadar akan akan hak dan kewajibannya harus bersatu dalam barisan pengawasan.